Mengupas Fenomena Disrupsi Pembelajaran

 

Sumber : undwi.ac.id

Bossindonesia.com, - Kata disrupsi akhir-akhir ini kian populer seiring dengan upaya adaptasi masyarakat terhadap situasi pandemi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “disrupsi” berarti “hal tercabut dari akarnya”. Fenomena disruption (disrupsi), merupakan situasi pergerakan suatu hal yang tak lagi linier. 

Era disrupsi memiliki beberapa ciri yang dapat dijelaskan melalui (VUCA) yaitu :

  1. Perubahan yang masif, cepat, dengan pola yang sulit tertebak (Volatility), 
  2. Perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian (Uncertainty), 
  3. Terjadinya kompleksitas hubungan antar faktor penyebab perubahan (Complexity), 
  4. Kekurangjelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas (Ambiguity). 

Pada Era ini, teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang bidang pendidikan di Indonesia. Sehingga terjadilah kemudian disrupsi pendidikan.

Disrupsi pada dunia pendidikan merupakan konsekuensi dari munculnya era revolusi industri 4.0. Ciri utama pendidikan dalam revolusi industri 4.0 adalah pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar mengajar (cyber system), sehingga pewarisan ilmu pengetahuan dan kompetensi dapat berlangsung secara kontinu tanpa harus selalu bertatap muka di kelas. Dengan kata lain, materi ajar dapat sampai ke peserta didik setiap saat, tanpa terbatas ruang dan waktu. 

Ada beberapa teknik pelaksanaan Pendidikan 4.0 yaitu :

  1. Menyiapkan  perangkat teknologi digital untuk pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM)
  2. Menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan 
  3. Memastikan tenaga pendidik mempunyai kecakapan dalam memanfaatkan IT untuk pembelajaran.

Disrupsi Pembelajaran Terhadap Peserta Didik

Era disrupsi pembelajaran membawa peserta didik pada berbagai kemudahan dalam belajar. Mindset belajar bukan lagi tentang proses interaksi langsung antara siswa dan guru. Melainkan telah bergeser menjadi proses tunggal mencari tahu dari segala sumber. Gaya maupun cara baru untuk belajar di era digital ini merupakan dampak dari tersedianya produk-produk IPTEK dan tren global yang mengemuka. Peserta didik pada era ini, adalah user-user otodidak yang sangat mengandalkan teknologi dalam menjalani aktivitas belajarnya sehari-hari.

Adanya akses internet, memudahkan siswa dalam mengakses informasi maupun konten hiburan. Mereka dapat menemukan apa saja di dunia maya, sesuai dengan kesenangan dan keinginannya. Fakta ini menimbulkan ketergantungan akut terhadap internet. Belum lagi keterbatasan situasi saat ini, yang  mengurangi kesempatan mereka untuk terlibat dalam diskusi ‘nyata’ bersama teman sebaya. Pada akhirnya, mereka cenderung mudah skeptis dan memiliki ketertarikan untuk menyendiri. Keadaan seperti ini berpotensi mengurangi hubungan humanis antara guru dengan murid. Sebab, perannya telah banyak tergantikan oleh teknologi. Selain itu, kepekaan dan kemampuan bersosial anak juga terancam terdegradasi. Egosentris akan sangat mudah tumbuh jika akses terhadap lingkungan, berkurang atau terbatas.

Fenomena disrupsi pembelajaran ini muncul dan dihidupi oleh peserta didik itu sendiri. Sebagai generasi neo-milenial, mereka memiliki kecendrungan individualistis, berjiwa bebas, mampu multitasking, dan tentunya sangat akrab dengan teknologi. Dengan kondisi tersebut, peserta didik secara otomatis akan mudah larut pada pusaran disrupsi. Pendidikan secara umum akhirnya mengalami pergeseran karena disrupsi pembelajaran. Bagaimanapun juga, internet maupun media online hanyalah tools untuk belajar. Konten internet bisa saja membuat siswa mengetahui segala hal, namun tidak cukup mampu untuk membekalinya kecerdasan sosial dan emosional. Maka, tantangan guru saat ini tidak hanya mampu menggiatkan inovasi pengajaran, tetapi juga menguatkan literasi digital pada keseharian peserta didik. (AS)